Ads Top

Muhasabah Mudik Lebaran


Sebagaimana tradisi-tradisi lainnya yang berkembang subur dimasyarakat, mudik telah diangap sebagai ritual yang wajib dilakoni oleh mayoritas masyarakat urban di Indonesia. Mudik atau kembali ke udik secara biologis adalah jembatan untuk kembali ke kampung halaman bertemu dan bersilaturahmi dengan orang tua, keluarga dan handai taulan. Mudik secara spiritual menjadi ajang menemukan kembali asa, adab dan jati diri pribadi yang seakan telah menjauh bahkan menghilang dari lingkungan serta peradaban yang membentuk dan membesarkan karakternya sejak dini. Selanjutnya lebaran secara sosial dianggap sebagai medium penyegaran kembali ukhuwah serta kehangatan relasi sosial yang sempat renggang karena tuntutan kerja diperantauan. Kewajiban mengeluarkan zakat adalah bentuk tanggung jawab sosial kaum yang memperoleh kemenangan di hari lebaran kepada para kaum papa dan dhuafa.


Selanjutnya disambung dengan semangat silaturahmi atau halal bihalal sebagai jalan mendapatkan pembebasan dari dosa dan khilaf dengan saling membuka lebar pintu maaf. Lebaran dalam tataran sosial juga seharusnya menjadi titik balik kemenangan umat untuk keluar dari telikung sifat bathil, gemar menjarah, sikap telengas atas sesama serta jebakan jiwa penuh amarah. Mampukah ritual mudik dan lebaran menghapus paradoks kompleksitas dan kekeliruan pemaknaan atas kewenangan umat muslim selama ini. Akankah spiritualisasi mudik mampu mengantarkan umat muslim menjadi insan kamil (insan paripurna) yang juga berlebaran secara paripurna.


Mudik alias pulang kembali ke udik atau kampung halaman, secara sosio-psikologis mudik mudah dipahami sebagai fenomena sosial dimana masyarakat merelakan dirinya untuk bersusah payah dalam segala kerumitan prosesi. Kerelaan dalam keterpaksaan ini umumnya terdorong oleh kolektivitas perasaan masyarakat untuk menikmati lebaran bersama keluarga besar di kampung halaman. Apapun demi mudik. Kemudian menjadi sebuah frasa klise yang dianggap jamak untuk menyebutkan betapa tingginya antusiasme publik dalam melakukan tradisi tahunan ini. Bahkan bagi sebagian kalangan, irasionalitas adalah nuansa yang kerap tertangkap didalam benak. Kondisi jalan padat yang merayap samai macet total, tuslah yang melambungkan harga tiket kendaraan umum begitu mahal, penuh sesak dan bejubelnya antrian, ditingkahi beragam kejadian kisruh dijalan adalah rentetan pemandangan yang terpampang secara banal. Tidak masuk akal memang, namun pada faktanya irasionalitas secara sosiologis mendorong semuanya dilakukan secara berulang setiap tahun.


Dalam skala  komodivikasi tradisi, paradoksal puasa dan mudik juga acap tampil diluar kesadaran sosial publik. Spiritualisasi puasa yang disesaki semangat dasar untuk toleran dan solidaritas dengan kaum papa, ternyata kerap lupa mengejawantah dalam praktik hidup sehari-hari baik selama atau pasca puasa. Ritual puasa disambung prosesi mudik dalam tarikan lurus proses menuju fitrah dihari lebaran, kerap diwarnai oleh demonstrasi perilaku hedonisme juga riya alias PAMER. Salah satu bentuk paling sederhana dan jadi rahasia umum, mudik kerap menjadi etalase untuk mengumbar keberhasilan diperantauan.


Wajar dan tidak salah memang sepanjang masih proporsional dan tidak berlebihan. Namun realitanya, alih-alih mudik demi membawa dan menularkan nilai-nilai profesionalitas, keuletan berusaha dan etos kerja yang justru lebih banyak terpampang kepada warga di kampung halaman adalah nilai-nilai pragmatisme dan kebanggaan atas keberpunyaan harta duniawi. Namun dibalik segala paradoks, sesungguhnya apa yang tergambar dari mudik massal tahunan ini adalah refleksi bantahan dari berbagai tesis bahwa bangsa ini telah kehilangan rasa dan romansa kebersamaannya. Bahwa bangsa ini semakin individualistis, terjebak dalam modernitas hidup yang terpusat oleh ke-AKU-an pribadi.


Mudik menjadi wujud kesadaran kolektif bahwa setiap pribadi pemudik adalah makhluk sosial yang terbalut oleh sebuah kultur romantisme komunal. Dan bahwasannya didalam ingatan itu mereka masih menyelami nilai-nilai kesederhanaan, kebersamaan, spiritualitas dan cinta lingkungan di kampung halaman. Boleh jadi hal-hal itulah yang menjadi idealitas spiritualisasi mudik fisik sebagai hasil religiusitas watak sosial yang menjadi wadah untuk menyegarkan kembali degradasi nilai-nilai, etika dan moral.


Meskipun pahit harus diakui bahwa selama ini yang terus terpapar adalah eskalasi paradoks mudik dan lebaran. Mudik lebaran tidak lagi sekedar menjadi ritual menuju kemenangan bersama yang sederhana dan bersahaja. Mudik dan lebaran justru kian identik dengan delusi serta selebrasi hedonisme tingkat kalap, juga ajang pameran topeng materialistik semata.

Diberdayakan oleh Blogger.