Ads Top

Islam dan Radikalisme


Islam dan Radikalisme - Tidak mudah mengaitkan antara Islam dan radikalisme. Pertanyaannya adalah: apakah Islam mengajarkan radikalisme? Jawaban atas pertanyaan ini selalu problematik. Sebab, agama (Islam atau agama apa pun) secara taken for granted dipandang sebagai instrumen ilahiah yang mengajarkan hal-hal yang serba "baik." Bagaimana mungkin mengkaitkan agama dengan ekstremisme sesuatu yang secara inheren dianggap mengandung hal-hal yang tidak "biasa". Dalam perspektif seperti ini, agama dan radikalisme sering dilihat sebagai sesuatu yang bersifat kontradiktif. Namun demikian, dalam kenyataan sehari-hari, kaitan erat antara agama dan radikalisme merupakan hal yang mudah ditemui.


Pada dasarnya ada keengganan bagi banyak kalangan umat beragama untuk melihat potensi keterkaitan antara agama dan radikalisme. Sikap enggan ini bukan didasarkan semata-mata untuk membela agama tertentu, tetapi karena fungsi agama memang bukan untuk mendorong tindakan-tindakan yang bersifat radikal, dan berbau negatif. Agama selalu berbicara tentang hal-hal yang serba baik, serba agung, untuk menciptakan tatanan yang dalam perspektif, misalnya, Islam "baldatun thayibatun wa rabun ghafur." Masyarakat Jawa menyebutnya, "negeri gemah ripah lohjinawi, toto tenterem kerto raharjo." Atau, dalam pandangan para sosiolog Barat, agama dimaksudkan untuk menciptakan "the good society." Inilah kira-kira yang menjadi fungsi universal agama-agama yang ada.

 

Meskipun begitu, pada dasarnya sulit untuk mengingkari adanya tindakan-tindakan radikal yang setidak-tidaknya membawa bendera agama kalau bukan justru diinspirasi dan dimotivasi oleh cara pandang serta pemahaman tertentu terhadap doktrin-doktrin agama. Dan, dalam konteks perkembangan global dewasa ini, komunitas Islam sulit untuk menghindar dari pertanyaan apakah Islam mendakwahkan radikalisme? Tentu dengan semangat subjektivitas keagamaan, setiap Muslim akan menjawab dengan nada negatif. Dengan kata lain, Islam tidak (pernah) mengajarkan radikalisme. Kendatipun mereka mengetahui bahwa ada banyak tindakan radikal yang bisa dikait-kaitkan dengan Islam.


Islam tidak bisa mengakomodir tindakan-tindakan ekstrem. Baginya jelas bahwa Islam justru memerintahkan moderasi dan keseimbangan situasi yang tidak ekstrem. Moderasi dan keseimbangan yang diajarkan Islam mencakup segala sesuatu, baik dalam hal kepercayaan, beribadah, perbuatan dan tingkah laku, serta dalam hal menetapkan hukum. Inilah, yang dalam Islam disebut al-sirat al-mustaqim (jalan lurus) jalan mereka yang diberi nikmat oleh Allah, dan bukan mereka yang terkena murka Allah.


Oleh karena itu, bahwa moderasi atau keseimbangan bukan hanya merupakan karakteristik umum Islam, tetapi juga menjadi tonggak paling fundamental. Jika secara doktriner dan prinsipal, itulah yang ingin dipancangkan Islam, maka semestinya komunitas Islam adalah komunitas yang mengikuti jalan lurus, adil, moderat, dan seimbang. Mereka seharusnya selalu berada di tengah, tidak berada pada titik paling jauh baik di sisi kanan maupun di kiri dari pusat.

 

Gagasan mengenai moderasi dan keseimbangan mempunyai dasar yang kuat dalam Al-Qur'an dan Sunnah dua sumber utama Islam. Sumber yang pertama ini telah menyebutkan berbagai istilah yang memerintahkan Muslim untuk selalu berada di tengah, menjadi moderat, dan berlaku seimbang (wasath) serta melarang mereka berlaku ekstrim, ta'addi (melampaui batas), atau tasydid (kaku, keras). Demikian pula, berkali-kali Nabi Muhammad mengingatkan umatnya agar tidak berlebihan meskipun di dalam menjalankan ajaran agama. Nabi juga mengingatkan bahaya yang bakal dihadapi oleh mereka yang bertindak melampaui batas. Ajaran-ajaran Islam memang memerintahkan Muslim untuk berlaku seimbang, dan melarang mereka bertindak ekstrem.


Ada tiga problem utama dalam radikalisme agama,

Pertama, tindakan ekstrem atau batas itu terlalu sulit untuk dapat disetujui oleh manusia. Terlalu berat bagi mereka untuk memikul beban atau mentolerir tindakan-tindakan yang melampaui batas. Meskipun mungkin ada sebagian orang yang dapat hidup dengan praktik-praktik yang melampaui batas, mayoritas tidak mungkin bertindak demikian. Karenanya dapat dikatakan bahwa ekstremisme itu sebenarnya berlawanan dengan sifat manusia (human nature).


Kedua, tindakan ekstrem atau yang melampaui batas itu tidak berumur panjang (short-lived). Secara alamiah, kemampuan orang untuk bertahan khususnya terhadap hal-hal yang berbau eksesif itu terbatas. Dan karena manusia itu pada dasarnya cepat bosan, maka tidak bakal mampu bertahan dengan tindakan-tindakan yang melampaui batas untuk jangka waktu lama.


Ketiga, praktik-praktik yang melampaui batas itu membahayakan dan melanggar hak dan kewajiban pihak lain.

Diberdayakan oleh Blogger.