Ads Top

Khutbah Jumat - Kritik Sosial


Ungkapan terdalam dari sanubari kita adalah senantiasa memanjatkan syukur ke hadirat Allah yang Maha Rahman dan Rahim. Berkat kasih dan kebesaran-Nya kita dapat kembali hadir dalam suasana menunaikan jemaah shalat Jumat. Dengan sendirinya, kita semakin memantapkan hati dan niat, karena kehadiran Allah dalam setiap langkah, gerak dan setiap tarikan nafas kita, untuk bertakwa dan berikhtiar menyempurnakan ketakwaan kita.


Dalam kesibukan kita menghadapi hari-hari kerja dan beraktivitas tentu saja penuh dengan kelelahan dan berpeluh keringat. Seringkali tak ada lagi waktu tersisa untuk merenungkan hidup dan untuk mencari makna kehidupan kita sehingga rnelahirkan suatu kekosongan jiwa dan kesepian jiwa yang sangat berat menekan. Hal ini menjadi ciri kehidupan manusia modern di kota-kota besar yang menjadi pusat kehidupan manusia yang penuh sesak.


 

Manusia menderita ketakutan, kecemasan, frustasi dan stres. Bahkan banyak orang mengkhawatirkan akan menemui ajalnya dalam kondisi yang tidak wajar karena penyakit aneh, dibayangi ketakutan musuhnya ataupun lebih memilih bunuh diri. Seorang ahli ilmu jiwa kenamaan Jung, mendapati bahwa krisis terbesar manusia modern pada pertengahan umurnya adalah dikarenakan oleh lenyapnya kepercayaan agama. Di Amerika 50% dari tempat tidur rumah sakit ditempati oleh para penderita penyakit jiwa, meskipun di sana ilmu pengetahuan dan teknologi maju sangat pesat.


Pada kesempatan yang penuh uasana kedamaian ini, saat kita berkumpul bersama saudara-saudara seiman, kita perlu merenungi secara jujur dan terbuka tentang keadaan kita secara pribadi sekaligus sebagai umat yang terpilih.


Jemaah Shalat Jum'at yang Berbahagia,

'Kita merasa prihatin', suatu ungkapan yang sering kita dengar, yang diungkapkan oleh kalangan agamawan dan tokoh pimpinan keagamaan. Keprihatinan, suatu ungkapan sederhana dari sebuah rasa ketidakpuasan. Sebagai refleksi batin dan curahan perasaan terdalam, keprihatinan merupakan reaksi terhadap keadaan di lingkungan kita, terhadap orang-orang di sekitar kita ataupun berbagai keputusan yang terkait dengan masyarakat. Boleh jadi karena tidak setuju, tidak puas ataupun merupakan pertentangan, karena berbeda pendapat.


Dalam bahasa agama, keprihatinan menjadi bagian dari ungkapan bahasa dakwah, yang arti sederhananya: mengajak, menyeru ataupun mendorong. Dakwah itu sendiri sebagai perwujudan amar ma’raf nahy munkar, penegakan kebaikan dan penghapusan kemunkaran. Dengan kata lain, dalam dakwah itu terdapat usaha untuk melakukan perubahan menuju keadaan yang lebih baik.


Khutbah Jumat hanya menjadi media dakwah salah satunya. Cara lainnya disampaikan melalui dakwah terbuka, diskusi, dialog, seminar ataupun dakwah monologis di layar kaca. Bahkan, sebagian ilmuwan kita mengekspresikannya lewat tulisan di berbagai media cetak. Dari berbagai forum itulah kita mendapatkan gambaran adanya kecenderungan dakwah kritik yang semarak dan hangat. Dakwah Islam, seperti halnya khutbah Jumat, tidak saja berisi ajaran dan cerita tentang ibadah dan keakhiratan tetapi juga kepedulian kritis para muballig, dan cendekiawan kita dalam merespon atau menyikapi persoalan sosial yang sangat kompleks.


Yang sangat menggembirakan adalah, para da`i yang ikut menyuarakan sikap responsif keagamaan tersebut demikian bervariasi. Bukan hanya para kiai, ustadz ataupun sarjana agama lulusan perguruan tinggi agama ataupun plus pesantren, tetapi juga para aktivis keislaman dari kalangan mahasiswa, dosen, termasuk pengusaha, birokrat dan tokoh militer. Tidak ketinggalan pula kelompok artis, seniman dan budayawan angkat bicara soal agama. Pembicaraan tentang agama menjadi trend, pop dan aktual dalam banyak kesempatan. Yang menarik disoroti adalah soal muncul dan berkembangnya pola dakwah kritik ataupun kritik dakwah.


Hadirin yang Mulia,

Seiring dengan fenomena tersebut maka mulai memudar berbagai konsep keagamaan semisal ulama, santri ataupun ustadz. Yang tadinya persepsi itu hanya melekat pada orang yang menempuh pendidikan formal keagamaan di pesantren, madrasah dan Perguruan Tinggi Islam, kini juga melekat pada para aktivis kerohanian Islam di kalangan mahasiswa, dosen dan kalangan pengusaha ataupun birokrat. Pembicaraan soal agama tidak lagi menjadi monopoli kelompok tertentu, tetapi lebih meluas pada berbagai lapisan masyarakat secara menyeluruh.


Munculnya dakwah kritik tersebut sebagai kritik terhadap dakwah yang selama ini oleh sebagian pihak disampaikan hanya pada tataran verbal atau tradisi lisan dan penuh dengan dogma dan doktrin semata. Dakwah hanya disuarakan lantang di podium dengan slogan dan hiburan yang menggambarkan sekitar pahala dan dosa, ura dan neraka, ataupun janji-janji kehidupan akhirat. Dakwah dipandang kurang membumi dan membudaya di kalangan umat. Sementara corak dakwah kritik lebih menekankan aksi dinamis dari pesan-pesan dakwahnya.


Nabi Muhammad saw. dengan risalahnya mewakili gambaran peran agama di bumi ini sebagai kritik sosial sebagaimana juga agama yang dianut para nabi dan rasul pendahulunya. Agama senantisa berhadapan dengan keadaan di lingkungannya, dan pada kali lainnya, menjadi sarana peneguh dan penguat tentang keberlakuan suatu moral atau praktik sosial. Intinya, agama juga memiliki fungsi kritik untuk melakukan perubahan. Hal itu dapat kita lihat dalam berbagai ilustrasi dari ayat-ayat Alquran.


Kritik dalam bahasa agama dekat dengan pengertian nasihat (nashihat), dakwah ‘amar ma’ruf nahy munkar, dan 'mau'izhah hasanah', dan sebagainya. Kemampuan 'menyeru' pada kebenaran disertai dengan manfaat bagi orang lain dan diri berupa pahala dan Allah swt. Kritik dengan niat yang baik dapat bermakna Salah satu sabda Nabi saw. dalam riwayat Imam Muslim menjelaskan:

Artinya: "Siapa yang mengajak kepada petunjuk yang benar, ia mendapat pahala seperti beberapa pahala orang yang mau mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun hal itu dari beberapa pahala mereka. ditimpakan dosa seperti beberapa dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun hal itu dari beberapa dosa mereka." (H.R. Muslim)


Di dalam Alquran banyak terdapat ayat yang menekankan pentingnya kedudukan manusia yang memiliki kekuatan dan kemampuan berfikir, berdaya cipta dan menyatakan pendapatnya. Islam melarang adanya sikap arogan, sombong dan takabur dalam menyampaikan kritik dan pendapat. Kritik yang hanya sekedar berniat menjatuhkan dan mencelakakan orang lain hanya akan mengakibatkan kerusakan dan akan menimbulkan kerugian di pihak manapun. Kritik yang hanya dijadikan tujuan akan menunjukkan sikap seolah-olah orang lain selalu salah dan dirinya merasa benar. Orang yang demikian akan menjadi 'merugi' sebagaimana dilukiskan dalam Alquran Surat Al Kahfi (18) : 103-104 yang berbunyi:

Artinya: “Katakanlah, apakah akan kami beritahukan kepadarnu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang orang yang telah sesat perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka me-nyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. "

[Q.S. Al Kahfi (18) : 104]


Dalam ajaran Islam juga ditekankan pentingnya sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima saran, kritik ataupun pendapat. Bahkan, sikap keterbukaan tersebut seiring dengan tingkat mutu keimanan dan amal saleh seseorang. Dalam surat Al `Ashr (103) : 1-3 dinyatakan:

Artinya: "Demi waktu. Sungguh manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh dan saling memberi wasiat untuk tegaknya kebenaran dengan haq dan saling berpesan dengan kesabaran (ketabahan)." [Q.S. Al 'Ashr (103) : 1-3]


Dengan halus sekali Allah menitahkan untuk meraba-raba kemampuan sendiri dan memulai koreksi terhadap diri sendiri. Terlebih sikap yang demikian dikaitkan dengan perintah untuk mengukuhkan keimanan dan ketakwaan.


Hadhirin Rahimakumullah,

Yang ingin kita telusuri adalah memetakan berbagai ungkapan dan berusaha merekam sikap kritis para juru dakwah umat Islam. Keprihatinan para ulama dan cendekiawan dapat mewakili jeritan kelompok dhu’afa, mereka yang tertindas, para pencari keadilan dan harapan orang-orang miskin. Upaya untuk menggambarkan tentang apa yang menjadi keprihatinan, dapat memberikan hikmah bagaimana seyogyanya umat Islam menghadapi masalah sosial dan sekaligus melihat sejauhmana efektifitas dakwah kritik tersebut dilakukan bagi perubahan untuk keadilan sosial yang lebih luas.


Pertama, kritik ketuhanan yang menekankan ajaran tauhid sebagai pusat dan inti ajaran. Ajaran Tauhid banyak tercemari oleh bid`ah, takhayul dan mistik serta isu yang mengarah pada praktik kemusyrikan. Tampaknya, masyarakat kita yang dipandang semakin modern ini makin percaya pada persoalan kegaiban dan perdukunan, ramalan ataupun dunia santet dan susuk. Masyarakat kita begitu mudah digoyang isu drakula ataupun tuyul. Begitu percaya dan terpengaruh oleh soal adanya kekuatan untuk mem-'backup' (mendukung) dan melindungi dari kelompok jin ataupun kekuatan gaib. Bahkan, disinyalir sebagaimana orang memanfaatkan kekuatan supernatural untuk kepentingan jabatan, karir, kecantikan dan persaingan dalam bisnis.


Kedua, kritik moral dan etika umat. Umat Islam lebih akrab dengan etika dan moral dalam pengertian sekedar sopan santun anak terhadap orang tua, murid terhadap guru, buruh terhadap majikan ataupun bawahan terhadap atasannya. Etika dalam arti kesopanan lebih dipandang penting ketimbang etika sosial yang lebih luas. .-kkhirnya, secara kolot dan kaku masyarakat kita cenderung mengabadikan feodalisme dan formalisme yang mengabaikan perhatian dan tanggung jawabnya terhadap masalah sosial umat secara menyeluruh.


Hal ini memerlukan pemahaman dan penghayatan moral dan etika yang utuh dari umat Islam. Etika yang terkait dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa secara luas jauh lebih penting dalam merefleksikan nilai-nilai Islam. Akibat kurangnya perhatian terhadap aspek ini, akhirnya perbuatan dosa kolektif dianggap tidak berarti. Kita sering hanya merasa prihatin jika mendengar mewabahnya budaya korupsi, mungkin tanpa dapat berbuat apa pun, terhadap segala persoalan yang menyangkut manipulasi, budaya koneksi, ataupun kriminalitas yang makin marak. Belum lagi soal adanya tindakan keberingasan dan kerusuhan yang menelan banyak korban materiil ataupun jiwa manusia. Bagaimana bisa dipahami, orang yang setiap hari shalat, mengaji dan mengkaji Alquran, sopan dan rajin mengaji, pada kali yang lain menjadi perusak dan perusuh kehidupan masyarakat.


Ketiga, kritik sosial budaya berkenaan dengan setiap segi kehidupan sosial dan bodaya masyarakat. Banyak keprihatinan terlontar di seputar rimba raya hukum kita. Dari yang hanya mengatakan adanya kelunturan wibawa hukum, mafia peradilan hingga hilangnya kepastian dan keadilan hukum. Masalah perkelahian pelajar sangat akut dan tampaknya belum bisa tertangani secara tuntas. Sementara itu kehidupan masyarakat telah dilanda konsumerisme, materialisme, hedonisme, pragmatisme serta sekulerisme sebagai serentetan penyakit sosial masa kini.


Ada juga muballigh yang menyoroti adanya kekeringan teladan dari para pemimpin masyarakat dan keterasingan masyarakat yang memegang teguh agamanya di tengah kehidupan glamor kota-kota besar. Mesjid-mesjid dan tempat pengajian mulai ditinggalkan. Pusat-pusat perbelanjaan selalu ramai. Diskotik, cafe dan night club tak pernah luput dikunjungi. Orang lebih dihargai dari penampilan fisik dan merek yang dipakainya, ketimbang sisi akhlaknya.


Keempat, kritik ekonomi terkait dengan persoalan ekonomi umat dan bangsa. Isu yang paling mendasar berpusat pada kemiskinan. Dorongan para pemuka agama agar konsentrasi permodalan di satu pihak mesti dibagi secara adil, adanya keharusan kemitraan antara pengusaha besar dan lemah, bukan bantuan yang sekedarnya atau hanya ungkapan belas kasihan. Ada pula seruan untuk menekankan distribusi peran, peluang dan kesempatan yang sama dalam berusaha. Semuanya bermuara pada bagaimana usaha meningkatkan taraf hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat.


Masyarakat perkotaan yang selalu menjadi sorotan, rentan dengan problema ekonomi. Tidak henti-hentinya diwarnai oleh masalah penanganan gepeng (gelandangan dan pengemis), pemulung, pengamen ataupun masalah sampah. Siapakah yang dapat diandalkan mengulurkan tangan untuk mereka agar terbebas dari derita kejamnya ibu kota? Tentu saja jawabannya ada pada kesadaran dan kesungguhan kita sebagai umat pemberi rahmat dan kesejukan bagi kemanusiaan.


Kelima, kritik keilmuan dan teknologi. Negara-negara Islam telah menjadi korban dari mengalirnya pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Barat. Keprihatinan itu muncul dari tingkat produktifitas keilmuan dan teknologi umat Islam yang relatif rendah dan masih kalah bersaing dengan dunia Barat yang terus mendominasi. Dari produk makanan dan minuman, buah-buahan, mode pakaian, hingga mainan anak-anak dibanjiri oleh karya nonpribumi. Umat Islam hanya jadi konsumen yang terus-menerus hobi mengeluarkan anggaran yang tanpa disadarinya lebih menguntungkan orang dan bangsa lain.


Masalah kedua terkait dengan hakikat keilmuan Barat yang hanya mengakui adanya wilayah kebendaan yang empirik sementara agama tidak hanya menyangkut soal yang empirik tetapi juga yang metafisik. Yang dipandang sebagai ilmu bagi dunia barat adalah yang dapat diindera dan sesuai dengan kenyataan. Padahal cakupan agama mencakup keduanya, wilayah nyata dan maya, riil, dan gaib. Di sini senantiasa merebakkan ketegangan secara prinsip antara dunia Islam dengan dunia Barat.


Nilai dan ajaran agama dihadapkan berbagai penemuan mutakhir yang menantang dogmatisme agama dan tantangan untuk ikut memecahkan persoalan kemanusiaan. Dari mulai pengembangan biomedis, alat-alat perang mutakhir sampai persoalan alat pembunuh sistematis. Tidak ada zaman yang paling menantang bagi keberadaan agama kecuali masa yang amat berat di era perubahan global yang sangat cepat ini.


Keenam, kritik struktural terkait dengan aturan, lembaga dan perangkat formal yang senantiasa menjerat dan menghambat pada kemajuan umat. Banyak orang ingin maju, pintar, dan cerdas, tetapi selalu tidak pernah maju. Banyak yang berprestasi tetapi selalu tidak pernah menang. Di dalamnya ada budaya koneksi, pelicin, dan lobi-lobi tingkat tinggi di lapangan golf, pacuan kuda, restoran, cafe, ataupun juga di lapangan tenis.


Isu-isu soal kemiskinan struktural sering dikaitkan oleh para da`i dengan adanya kemiskinan yang semakin menggurita. Bukan saja kemiskinan materiil tetapi juga kemiskinan mentalitas dan spiritualitas masyarakat. Setiap orang sering diperlakukan tidak sama dan sangat tergantung pada anak siapa, keluarga siapa dan berapa besar koneksi diberikan.


Hadhirin yang Berbahagia,

Dakwah kritik sebagai sikap kepedulian dan hasrat melakukan perubahan memang penting untuk membangunkan umat Islam dari tidur panjangnya. Kita berharap dapat merangsang kreativitas berfikir dan memicu keterlibatan umat dalam menyelesaikan persoalan kehidupannya. Yang terpenting adalah bagaimana perubahan itu dapat direalisasikan menuju perbaikan dan penyempurnaan kualitas kehidupan umat. Sehingga bukan hal yang berlebihan jika kita menyatakan, tiada dakwah tanpa perubahan dan setiap upaya untuk melakukan perubahan adalah dakwah.


Dengan amat tegas Rasulullah saw. mengingatkan tentang keharusan menyatakan kebenaran dalam keadaan apapun, dengan resiko apapun, dan sebesar apapun tantangannya. Sikap memperjuangkan kebenaran tidak ada tujuan lain kecuali untuk menegakkan keadilan. Dalam keadilan itu ada ketakwaan dan ridla Tuhan. Karenanya, kritik sosial umat merupakan bagian dari nasihat agama yang seharusnya menjadi pelajaran bagi setiap umat. Allah berfirman dalam Alquran surat Al Anfal (8) : 90 yang artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu semua untuk berbuat adil dan berbuat ihsan, memberi (perhatian) kepada kaum kerabat; dan Allah melarang berbuat keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepada kamu sekalian agar kalian dapat mengambil pelajaran " [Q.S. Al Anfal (8) : 90]


Akhirnya perlulah kita mengakhiri khutbah ini dengan beberapa kesimpulan:

Pertama, umat Islam perlu memahami lebih mendalam tentang etika sosial dan penegakan akhlak bermasyarakat secara luas, tidakhanya mengerti soal kesopanan, sikap dan tingkah laku saja;


Kedua, sikap kritik sebagai bentuk kepedulian dan panggilan hati nurani umat untuk meluruskan yang salah dan munkar, perlu menjadi budaya dalam kehidupan umat Islam. Kritik yang ditujukan untuk keadilan sosial secara menyeluruh, bukan kritik yang mencari kambing hitam apalagi berbuat kemunkaran serta kezaliman; dan


Ketiga, bertanggung jawab secara pribadi ataupun bersama-sama untuk saling mengingatkan di antara sesama umat harus dilandasi sikap keterbukaan dan mengarah pada usaha mengembangkan dakwah yang mampu menyelesaikan persoalan umat secara nyata dalam berbagai segi.


Dipublikasikan pada hari Jumat 24 April 2015 M / 5 Rajab 1436 H

Diberdayakan oleh Blogger.