Khutbah Jumat; Ilmu, Simbol Peradaban Umat

Sembari bersila, duduk istiqamah dan I’tiqaf tuma’ninah
di masjid ini, mari kita bersama-sama mendekatkan diri, menyatukan nurani kita
dengan dzat yang melindungi dan senantiasa membimbing hidup kita,
yakni Allah SWT. Upaya mendekatkan dan menyatukan ini merupakan tindakan yang
niscaya bagi kita, selaku hamba-Nya. Selain ikhtiar untuk konsisten dengan
ketakwaan yang selama ini kita bangun, juga wujud dari tasyakur kita ke
hadapan-Nya. Betapa banyak nikmat, rahmat, berkah dan ma’unah
(pertolongan) – baik disadari maupun tidak – yang Allah berikan kepada
kita setiap saat, kapan dan dimana saja, baik dibutuhkan maupun tidak.
Kalau dikalkulasi, pasti kita tidak bisa menghitung-Nya. Kenyataan ini sudah
digariskan Allah SWT sendiri dalam firman-Nya Surat An Nahl ayat 18 yang artinya: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya
kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Jamaah Jum’at Rahimakumullah
Ilmu, telah menjadi perbincangan dari masa ke masa, bahkan ilmu telah menjadi simbol
kemajuan dan kejayaan peradaban suatu bangsa. Hampir tak ada suatu bangsa
dinilai maju kecuali di sana ada ketinggian ilmu. Hingga telah menjadi kesepakatan setiap jawara bangsa, apabila ingin maju harus berkiblat kepada negeri yang tinggi
ilmunya.
Maka,
jadilah
bangku-bangku sekolah dari tingkat dasar
hingga perguruan tinggi didoktrin dengan kurikulum negara maju. Akan tetapi amat disayangkan, sikap ambisi meraup dan mengimport
ilmu ini berlaku hanya pada masalah yang
berorientasi duniawi. Bahkan virus sekulerisme
ini menjangkiti hampir sebagian besar kaum muslimin. Mengesampingkan
ilmu agama dan menomorsatukan ilmu dunia. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiallaahuanhu pernah berwasiat: “Dunia akan pergi berlalu, dan akhirat akan datang menjelang, dan keduanya
mempunyai anak-anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan jangan menjadi
anak-anak dunia. Sesungguhnya pada hari ini hanya ada amal tanpa hisab
(perhitungan), dan besok hanya ada hisab (perhitungan) tanpa amal.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq).
Jamaah Jum’at yang Dimuliakan Allah
Akankah kita bergelimang dalam kebodohan, padahal
kebodohan adalah lambang kejumudan. Lalu, tidakkah kita ingin selamat, sukses dan jaya di negeri akhirat nanti. Lantas, apa yang menghalangi kita untuk mempelajari ilmu agama, sebagaimana kita berambisi meraup ketinggian ilmu dunia karena tergambar
suksesnya masa depan kita?
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengumpulkan keutamaan ilmu ini
dalam 10 point:
1. Bahwa ilmu dien adalah warisan para nabi SAW, warisan yang lebih mulia dan berharga
dari segala warisannya para nabi. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah
bersabda:
فَضْلُ
الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى النُّجُوْمِ. اَلْعُلَمَاءُ
وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، وَاْلأَنْبِيَاءُ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَاًرا وَلاَ
دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ
وَافِرٍ. (الترمذي).
“Keutamaan ‘alim (orang
berilmu) atas seorang ‘abid (ahli
ibadah) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama
itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun
dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya (warisan
ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak.” (HR. Tirmidzi).
2. Ilmu itu tetap akan kekal sekalipun pemiliknya telah
mati, akan tetapi harta/materi
yang menjadi rebutan manusia itu pasti akan musnah.
Kita semua
pasti mengenal Abu Hurairah Radhiallaahuanhu,
seorang ahli periwayatan hadits. Dari segi materi, Abu Hurairah Radhiallaahuanhu memang termasuk golongan fuqara’
(kaum miskin).
Sekalipun
hartanya telah sirna dan jasadnya telah lebur
dengan tanah namun ilmunya tidak sirna, hingga saat kita semua masih tetap merujuk karya-karyanya. Inilah buah seperti yang tersebut dalam
hadits Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam :
إِذَا
مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ؛ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ
أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ.
“Jika manusia mati terputuslah amalnya kecuali tiga:
shadaqah jariyah, atau ilmu yang dia amalkan atau anak shalih yang
mendoakannya.”
3. Ilmu, sebanyak apapun tidak menyusahkan pemiliknya untuk
menyimpan, tak perlu gedung yang tinggi atau
bunker yang dalam untuk meletakkannya. Cukup disimpan dalam dada dan kepalanya, ilmu akan
menjaga pemiliknya sehingga memberikan rasa nyaman dan aman. Lain halnya dengan harta yang semakin bertumpuk, semakin
susah pula untuk mencari tempat menyimpannya, belum lagi harus menjaganya
dengan susah payah bahkan bisa menggelisahkan pemiliknya.
4. Ilmu, bisa menghantarkan pemiliknya
menjadi saksi atas kebenaran dan keesaan Allah.
5. Orang yang berilmu (khususnya
‘Ulama Syari’at), merupakan kasta tertinggi dalam
kehidupan yang Allah perintahkan untuk mentaatinya, tentunya selama tidak menganjurkan durhaka
kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya) dan Ulil Amri di antara kamu.” (An-Nisa: 59).
Ulil Amri, menurut jumhur
ulama adalah Umara’ (Pemerintah) dan Hukama’ (Ahli Hukum). Ulama berfungsi menjelaskan secara gamblang syariat Allah dan mengajak manusia untuk tetap konsisten
berada di jalan Allah. Sedangkan Umara’ (Pemerintah) berfungsi mengoperasionalkan jalannya syariat Allah dan
menginstruksikan manusia untuk menegakkannya.
6. Para ulama, mereka itulah yang tetap
tegar dalam mewujudkan syariat Allah hingga datangnya hari kiamat.
7. Ilmu adalah jalan pintas menuju Surga. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا
يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ.
Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah
mudahkan baginya jalan menuju Surga.” (HR. Muslim).
8. Ilmu merupakan pertanda kebaikan seorang hamba. Tidaklah
akan menjadi baik melainkan orang yang berilmu, sekalipun bukan jaminan mutlak
orang yang (mengaku) berilmu mesti
baik. Rasulullah
SAW bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ.
“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan, Allah akan pahamkan
dia (masalah) dien.” (Al-Bukhari).
9. Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba
sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah secara verikal dan bermuamalah dengan para hamba Allah secara horisontal.
10. Allah akan mengangkat derajat ‘Alim (orang-orang berilmu) di dunia dan akhirat. Di dunia Allah
angkat derajatnya di tengah-tengah umat manusia sesuai dengan tingkat keilmuan yang dia miliki. Dan di akhirat akan Allah angkat
derajat mereka di surga sesuai dengan derajat ilmu yang telah diamalkan dan
didakwahkannya. Dalam Surat Mujadilah ayat 11 Allah SWT berfirman: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Jamaah Jum’at Rahimakumullah
Point penting yang
perlu kita kritis dan garis bawahi,
bahwa interpretasi keilmuan Islam
sangatlah
kompleks. Sebuah kebenaran
bersifat relatif dan tidak bisa
hanya dilihat dengan satu sudut pandang. Kita
tidak berhak dengan semena-mena mengkafirkan seseorang
hanya dengan mengacu dalil naqli secara partikularis.
Islam hendaknya dipahami, ditelaah dan diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari secara kaffah.
Dalam
aspek penafsiran Al Qur’an,
kita boleh saja menggunakan Tafsir Jalalain sebagai
acuan dasar yang diyakini benar, akan tetapi lebih bijaksana
jika kita secara proporsional juga melihat
Tafsir Maraghi dan Ibnu Katsir.
Dalam hal Fiqh, selain menggunakan mazhab syafii
ada baiknya juga jika kita mengkomparasikannya dengan
pendapat Imam Ahmad, Imam Maliki dan Imam Hambali.
Dengan segala
kerendahan hati, khatib mengajak kepada jamaah muslim
sekalian
untuk lebih bijaksana dalam memandang keilmuan Islam
yang multi tafsir. Perbedaan interpretasi
keilmuan Islam yang ada seperti paham radikal
dengan liberal, tradisional kultural dengan modern dan seterusnya,
hendaknya bukan menjadi alasan mencari benar
atau salah, suci atau nista,
kolot atau modern dan seterusnya yang berakibat
pada perpecahan umat. Melainkan bagaimana kita bisa
menunjukkan eksistensi keislaman
kita sebagai bangsa berpenduduk muslim
terbesar di dunia bahwa Islam
memang Rahmatan lil ‘Alamin.