Ads Top

Pendidikan & Harapan Bangsa


"Negara adalah sesuatu yang tidak bernyawa. Hanya akan bernyawa ketika individu-individu yang terpayungi didalamnya memberikan warna kehidupan. Hitam putihnya sebuah negara tergantung pada warna apa yang ditorehkan komunitasnya”


Cita-Cita Negara

Esensi sebuah negara pada dasarnya adalah sebuah konvensi sosial. Tak jauh beda dengan organisasi kemasyarakatan, dimana individu-individu yang dulunya tercerai-berai kemudian menyatukan visi untuk mencapai tujuan bersama. Berangkat dari kepentingan ini maka dibentuklah sebuah lembaga yang bernama “Negara” untuk menjadi alat individu-individu mencapai kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan.


Kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan, adalah isu sentral yang secara kodrati telah melekat dalam bingkai keinginan manusia. Para pendiri negara yakin, bahwa dengan bersatunya individu dalam naungan institusi, maka kepentingan tersebut di atas akan lebih mudah diwujudkan. Meskipun di tengah keyakinannya mereka sadar bahwa untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan itu masih membutuhkan kajian-kajian intensif dengan pisau analisis yang kritis. Sebab pencapaian cita-cita negara bisa dikatakan berada dalam kerangka evolutif.

 

Pemikiran tentang “Evolutif” kemudian melahirkan poin penting, bahwa perjalanan kedepan harus dikawal oleh nilai-nilai ideal agar tidak keluar dari koridor perencanaan semula. Pengawalan yang dimaksud adalah sebuah landasan normatif yang kelak akan dijadikan acuan dalam menentukan gerak langkah atau sebagai patron pergerakan. Landasan normatif ini kemudian dikenal dengan istilah ”konstitusi“.


Di Indonesia misalnya, konstitusinya adalah UUD 1945. Aturan ini berada diatas puncak menara hierarki dari segala aturan yang berlaku. Maksudnya, segala Undang-undang yang lahir kemudian tidak boleh bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar 1945.


Lahirnya konstitusi barulah merupakan langkah awal dalam menapak pencapaian cita-cita kolektif individu dalam negara. Pada fase ini adalah fase dimulainya perjuangan mempertahankan idealisme kebangsaaan.


Hubungan Negara dan Pendidikan

Kajian kenegaraan terus berlanjut, yang kemudian melahirkan kesepakatan baru bahwa untuk mendukung keberlangsungan perjuangan individu untuk mewujudkan cita-cita, diperlukan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai wadah “Regenerasi” bangsa.


Tugas lembaga ini adalah untuk mencetak manusia-manusia yang layak mengemban tugas kenegaraan. Kelayakan yang dimaksud adalah manusia dinamis yang mampu bereksplorasi dengan dinamika zaman yang tentu saja sesuai dengan platform awal pergerakan yaitu pencapaian cita-cita negara.


Lembaga regenerasi tersebut kemudian dibakukan menjadi lembaga pendidikan formal. Dalam wadah ini difokuskan bagaimana menemukan formulasi yang tepat untuk menciptakan individu seperti yang diharapkan. Akhirnya berbagai eksperimen terjawantahkan dalam kerangka penemuan formulasi tadi. Seperti penempatan wilayah pendidikan dalam naungan eksekutif, perombakan kurikulum, penciptaan UU Sisdiknas, dan lain-lain.


Dengan lahirnya lembaga pendidikan formal diharapkan mampu meredakan keresahan negara. Sebab nadi keberlangsungan sebuah negara berada diatas pundak generasi pelanjutnya. Bagaimana sekiranya generasi yang diharapkan sebagai pelanjut perjuangan justru tidak mampu memikul beban tersebut? Kepada siapa negara akan meratap?


Kondisi Obyektif

Agar tidak melupakan titik kajian kita maka penulis mengingatkan bahwa di awal tulisan tadi telah dijelaskan bahwa negara adalah alat masyarakat untuk mencapai tujuan bersama yaitu kemakmuran, keadilan, kesejahteraan. Tujuan ini kemudian diperkuat dengan dituangkanya kedalam konstitusi UUD 45 pada alinea kedua yang berbunyi “ …Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”


Pada bagian ini penulis akan mengajak pembaca untuk menyimak secara obyektif segenap fenomena sosial kemasyarakatan yang terhampar dalam wilayah NKRI. Secara makro penulis akan membagi menjadi tiga bagian wilayah yang akan kita simak, yaitu komunitas pelaku pendidikan, masyarakat luas dan komunitas elit.

 

Pertama; pelaku pendidikan meliputi peserta didik, pendidik, dan para penentu kebijakan pendidikan. Peserta didik adalah ibarat data input yang akan diproses oleh pendidikan untuk digodok menjadi manusia dinamis yang kelak diharapkan akan mengawal perjalananan negara. Namun ketika kita melihat wajah peserta didik kita dewasa ini, sepertinya harapan negara semakin teralienasi kedalam wilayah marginal.


Tawuran, narkoba, miras, pesta seks bisa dikatakan sudah tidak menjadi sesuatu yang asing dalam dunia peserta didik. Krisis moral, etika, dan kemanusiaan kiranya menjadi titik pandang kita ketika mencoba menelusuri kenyataan ini dalam hubungan kausalitas. Lebih ironis lagi karena ternyata yang seharusnya dianggap noda justru menjadi kebanggaan bagi mereka. Dalam kenyataan ini penulis menganggap bahwa dunia peserta didik terjebak kedalam “absurditas paradigma”.


Pendidik adalah manusia dewasa yang diharapkan dapat mengarahkan dan membimbing peserta didik menjadi manusia yang utuh, sehingga kelak peserta didik tersebut mampu menjadi manusia kreatif, mandiri, menjunjung tinggi kaidah keilmuan, beriman pada penciptanya, dapat mengekspor potensi dirinya kedalam masyarakat, terbebas dari kebodohan, yang pada akhirnya bermuara pada pencapaian cita-cita luhur negara.


Begitu bertumpuknya beban yang dipikul oleh para pendidik, sehingga mungkin di satu sisi kita akan mempertanyakan “Benarkah fungsi pendidik sesuai dengan realitas?” Di saat seperti ini nurani kita harus mendapat ruang untuk berbicara bahwa semua itu hanyalah bayang-bayang utopis. Para pendidik ternyata tidak mampu menjalankan fungsinya. Karena pada dasarnya mereka adalah manusia-manusia tidak berdaya yang berada dalam hegemoni rezim.


Dalam sistem pendidikan yang kita anut, para penentu kebijakan pendidikan juga berada dalam rantai birokrasi rezim. Sehingga merekapun tak berdaya dalam menggagas inovasi yang berbau revolusioner. Karena secara hierararki mereka terbentur pada lingkaran hegemoni.


Dalam dunia pendidikan kita, pernah hangat wacana tentang “Ganti Menteri Ganti Kebijakan”. Pada masa orde baru misalnya berbagai kebijakan yang bergulir dalam dunia pendidikan pada dasarnya adalah kebijakan yang berdasar atas kepentingan tertentu. Dunia pendidikan tak lebih dari sekedar wahana indoktrinisasi ideologi. Padahal semestinya pendidikan berada dalam wilayah bebas nilai (Netral). Dalam arti bahwa kebijakan-kebijakan yang lahir betul-betul sesuai dengan platform pendidikan sebagaimana yang diharapkan oleh negara.

 

Beberapa kebijakan yang lahir pada masa Orde Baru antara lain: Pertama; Kebijakan “Daoed joesoef” dengan NKK/BKKnya (Normalisasi kehidupan kampus dan badan koordinasi kampus) yang tujuannya tidak lain adalah untuk membungkam suara-suara mahasiswa kritis yang dikhawatirkan akan merongrong kedaulatan status quo rezim. Kedua; Pergantian mata pelajaran “CIVIC” (Kewarganegaraan) mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara menjadi “PKn” (Pendidikan Kewarganegaraan). Yang hanya menekankan pada ketaatan dan kepatuhan pada ideologi negara dan kebijakan-kebijakan rezim, dengan harapan secara evolutif generasi tersebut tidak akan punya keberanian untuk berdiri pada pada wilayah oposisi. Dengan bahasa lain, generasi tersebut dikebiri menjadi manusia kerdil yang pegecut. Ketiga; Kebijakan “Nugruho Notosusanto” dengan menambahkan mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) pada kurikulum 1984 dengan titik tujuan para lulusan pendidikan formal memiliki apresiasi yang tinggi terhadap ABRI. Karena dalam mata pelajaran PSPB, sejarah perjuangan bangsa didramatisasi yang menempatkan ABRI pada posisi hero. Menurutnya perjuangan itu identik dengan konfrontasi senjata. Sementara para diplomat tidak pernah dianggap sebagai pejuang.


Beberapa kebijakan pendidikan yang tertuang pada masa Orde Baru merupakan contoh kongkret manifestasi penghianatan terhadap pendidikan. Pendidikan hanya dipandang sebagai wilayah yang sangat kondusif untuk melancarkan strategi pertahanan status quo. Akhirnya harapan negara terhadap pendidikan semakin terlupakan.


Makanya tidak heran, kalau dulu sewaktu kita masih sekolah profil Indonesia yang diperkenalkan oleh para guru adalah bangsa yang damai, sejahtera, adil, makmur, egaliter, dan berbagai macam atribut kebangaan. Sementara jauh didunia luar nyaris kita tidak pernah menemukan realitas seperti yang disampaikan oleh para guru.


Kedua; Fenomena masyarakat luas. 1) Konflik horizontal yang terjadi dewasa ini, seperti kasus Papua dan Mesuji, di satu sisi dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah yang selama ini mengabaikan kepentingan masyarakatnya yang sudah mencapai titik kulminasi sehingga mengkristal menjadi gelombang resistensi yang tak berujung. Namun pada sisi yang lain mungkin dapat dimaknai sebagai akibat dari permainan politik primordial yang kemudian akhirnya memicu konflik. 2) Masyarakat awam menjadi sasaran empuk retorika politik bagi pemain politik yang ingin memperoleh legitimasi. Masyarakat sebagai konstituen hanya dijadikan kuda tunggangan dalam pencapaian singgasana kekuasaan. Namun anehnya masyarakat tidak pernah jera dengan janji-janji muluk. Semua ini adalah akibat dari ketidakpekaan masyarakat dalam melihat realitas sosial.


Ketiga; Fenomena elit. Dalam hal ini sebagian individu yang duduk dalam jajaran Trias Politika (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Secara makro penyakit yang melanda adalah seputar KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).


Analisis ketiga wilayah diatas, adalah bukti nyata ketidakberhasilan pendidikan dalam menjalankan fungsinya. Sebagaimana tujuan awal didirikannya lembaga pendidikan yaitu untuk menjawab kebutuhan negara tentang regenerasi. Sementara yang kita tahu para pelaku diatas adalah output dari lembaga pendidikan formal. Tapi mengapa sebagian dari mereka hanya manjadi rayap yang terus mengerogoti bangsa dan negara? Mungkinkah masih ada apologi untuk sekedar mengatakan pendidikan kita berhasil?


Akar Persoalan

Bagi penulis, yang menjadi akar persoalan dari semua ketimpangan ini adalah berawal dari dunia pendidkan. Makna pendidkan semakin tereduksi kedalam wilayah yang hampa akan makna. Sehingga hasil dari semua itu adalah lahirnya manusia-manusia Individualis yang bertahta di atas menara Hedonisme.


Tahta dan kemewahan adalah titik orientasi. Cara pandang bertumpu pada materialisme. Sehingga logika yang terbangun adalah bahwa penegasan status sosial dalam masyarakat tergantung pada bagaimana kita menampakkan kemewahan. Jalan tak jadi soal sepanjang itu memberikan harapan kemewahan.

 

Nurani yang semakin tumpul tidak mampu lagi mengidentifikasi absurditas yang terhampar. Kesilauan dalam memandang prestise yang absurd dalam masyarakat kemudian membentuk manusia-manusia tersebut menjadi robot tak berperasaan yang bertelanjang moral. Sekali lagi penulis mengatakan bahwa manusia-manusia tersebut adalah output dari pendidikan.


Jika kita kembali memaknai pendidikan dalam versi negara, bukankah negara tidak pernah berharap manusia-manusia seperti itu yang lahir dari pendidikan? Manusia yang diharapkan negara adalah manusia yang mampu meneruskan cita-citanya.


Jika demikian adanya, yang muncul dalam benak kita saat ini adalah kapankah negara kita akan karam? Sebab harapan negara semakin diselimuti kabut.


Langkah Solutif

Jika disepakati bahwa Pendidikan kita saat ini tidak mampu menghadirkan generasi yang diharapkan oleh negara, maka menurut hemat penulis, tidak ada alasan untuk tidak membenahi sistem pendidkan. Tentunya kita tidak ingin kesemrawutan sistem hari ini kemudian menjadi bingkai potret masa depan bangsa dan negara kita. Oleh karena itu penulis menggagas beberapa solusi yang mungkin bisa dijadikan referensi dalam perbaikan negara kedepan.


Jangka Pendek; 1) kesepakatan untuk mengembalikan pendidikan sesuai dengan fungsi dasarnya, yakni sebagai wadah pembentukan manusia utuh. 2) Perbaikan kurikulum, dengan penyeimbangan antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spritual (SQ). 3) Peningkatan kualitas para pendidik. Dan 4) Berpedoman kepada Undang-Undang Dasar 1945.


Untuk Jangka Panjang; Gagasan tentang Lembaga Pendidkan yang independen. Kalau “Montesque” menggagas tiga badan independen dengan Trias Politikanya. Penulis menganggap bahwa hal itu belum cukup. Akan tetapi dalam satu negara harus terdapat empat badan yang independen, yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif, dan edukatif.


Asumsi yang mendasari pemikiran penulis adalah bahwa pendidkan tidak akan pernah berjalan sesuai dengan tujuan negara jika badan tersebut masih berada dalam wilayah yang sarat dengan muatan politis. Catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60 tahun merupakan saksi jatuh bangunnya dunia pendidikan kita. Olehnya itu gagasan diatas penulis anggap sebagai langkah awal dalam membumikan manifesto pendidikan dalam masyarakat.


Kesimpulan

Negara kita saat ini dalam keadaaan kusut masai menanti uluran tangan Dewa penolong. Krisis multidimensi membuat bangsa dan negara kita kian terperosok dalam keterpurukan. Kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan yang merupakan cita-cita awal negara ternyata sampai hari ini belum menyentuh masyarakat secara signifikan.


Beragam realita sosial kemasyarakatan, seperti konflik etnis, ras, agama, gerakan separatis yang mengancam integrasi negara, di satu sisi sebenarnya merupakan wujud resistensi masyarakat. Sedangkan pada sisi lain mungkin akibat dari politik kotor. Namun sayangnya, penyebab dari semua itu tidak pernah dikaji secara mendalam. Sementara masyarakat sendiri bersikap apatis dengan segala aturan yang berlaku. Mereka lebih senang menghakimi sendiri, meskipun itu lewat perang antar kelompok maupun antar individu. Semua itu akibat dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang bersifat ambigu.


Para elit berlomba-lomba memburu tahta dan kemewahan, walau pada akhirnya harus berurusan dengan KPK. Mereka yang dipercaya oleh rakyat justru menghianatinya. Kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan hanyalah milik golongan elit. Sementara masyarakat bawah tak lebih dari sekedar figuran yang kemudian jadi penonton. Bukankah masyarakat juga berhak untuk diperlakukan sama?


Harapan negara terselubungi kabut. Sementara institusi pendidikan yang diharapkan mampu menerangi perjalanan negara juga dalam keadaan lumpuh. Dari sinilah kita harus memetakan causa prima ketidakberhasilan negara mencapai cita-cita.


Jika tujuan didirikan negara masih disepakati seperti dalam tulisan ini, maka langkah yang harus ditempuh adalah perbaikan manusianya sebagai pelaku. Perbaikan ini hanya didapat dalam wilayah pendidkan.


Hal ini berarti bahwa titik awal yang harus kita benahi adalah wilayah pendidkan. Dengan gagasan solusi seperti diatas, penulis yakin bahwa kalau memang tidak untuk saat ini, setidaknya anak cucu kita kedepan akan menyongsong era Indonesia baru. Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan egalitarian.*

Diberdayakan oleh Blogger.