Analisis Kritis Terhadap Pendayagunaan Zakat

Salah
satu nuktah paling mengesankan dari ajaran Islam mengenai dinamika umat adalah
pernyataan Rasul bahwa seorang mukmin yang kuat lebih baih baik dari mukmin
yang lemah. Namun disisi lain Islam juga tidak mengingkari kenyataan bahwa
selalu saja ada sebagian orang dilebihkan dari sebagaian lain. “Dan Allah
melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki … “ (An
Nahl’ 71)
Itulah
sebabnya Islam memberi petunjuk yang mengesankan mengenai penegakkan keadilan
sosial, agar jurang antara mereka yang mempunyai harta dengan yang tidak
mempunyai harta tidak terjadi atau dengan tidak membiarkan harta itu beredar di
sekitar orang-orang kaya saja. (QS Al Hasyr; 7) Itulah tanggung jawab sosial
kita semua.
Salah
satu konsep Islam untuk menegakkan keadilan sosial adalah dengan mewajibkan
penuanaian zakat. Al-Qur’an mencela keras manusia yang membiarkan masyarakat
yang tidak berdaya dalam cengkraman kemiskinan dan ketidakberdayaan menjalani
kehidupan. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam ayat berikut: “Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna”
Islam
memang hendak membawa umat manusia ke jalan keadilan dan kebebasan, agar tidak
ada orang yang hidup sengsara karena melarat, karena lemah atau karena tidak
berdaya. Sebaliknya agar tidak ada pula orang yang hidup mewah karena kaya,
karena kuat atau karena kedudukannya. Akan tetapi agar semua orang dapat hidup
terhormat terjamin hak-haknya dengan baik tidak ada yang lebih tinggi daripada
yang lain kecuali karena ketakwaannya kepada Allah atau karena kesetiaannya
kepada agama. Salah satu upaya untuk itu adalah dengan kerelaan menunaikan
zakat.
Hakikat Kewajiban
Zakat
Zakat
berarti pertumbuhan (al-nama’), suci (al-thaharah), dan berkah (al-barakah).
Jadi zakat adalah nama bagi sebagian harta yang dikeluarkan seseorang,
kemudian diberikan kepada fakir miskin dalam rangka memenuhi hak Allah SWT.
Dalam
menunaikan kewajiban zakat, tersimpan harapan agar kepada si pemberi (muzakki)
dikaruniai Allah keberkatan, jiwa yang suci dan harta yang semakin
bertumbuh kembang.
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Zakat
disebutkan dalam Al-Qur’an berdampingan dengan salat dalam 280 ayat, yang
diduga keras menunjukkan urgensinya dalam pengembangan sebuah masyarakat yang
harmonis dan berkeadilan.
Zakat dan
Pemberdayaan
Al-Qur’an
menyebutkan bahwa kaum beriman itu adalah bersaudara (QS Al Hujurat; 10). Pada
sisi lain Rasulullah SAW juga menggambarkan bahwa: “Orang mukmin itu bagaikan
tubuh yang satu, kalau salah satu anggotanya sakit yan lain turut merasakan.”
Ini tentu dengan sangat mudah dapat dianalogikan dengan kalau salah satu atau
sebagian anggota masyarakatnya miskin maka yang lain turut prihatin dan merasa
berkewajiban untuk mengentaskannya. Dengan demikian, zakat jelas merupakan
perwujudan dari Ukhuwah Islamiyah. Al-Quran sendiri memberikan pernyataan
penting mengenai hal ini. “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang Mengetahui.” (QS At Taubah; 11)
Sebagai
wajib zakat, banyak orang yang belum rela atau tulus memberi zakatnya.
Dikatakan demikian, karena masih banyak di antara kita yang selalu saja mencari
jalan keluar agar dirinya terbebas dari kewajiban zakat. Bahkan selalu mencari
hukum yang teramat rinci untuk dijadikan ‘kilah’ agar kepadanya tidak diwajibkan
zakat. Kalau saja ia menemukan satu pendapat saja yang mengatakan bahwa dirinya
(dengan kondisi tertentu) belum wajib zakat, maka hal itu merupakan peluang
besar untuk tidak menunaikannya.
Disisi
lain lain, sebagi penerima zakat tentu harus masih kita kritik sebab sebagian
mereka ada yang secara abadi tetap pada posisi sebagai penerima zakat selama
bertahun-tahun bahkan ada yang sampai puluhan tahun. Jadi kapan ia dapat
bergeser dari posisi penerima menjadi si pemberi?
Tampaknya
disinilah kunci masalah yang harus kita sadari bersama agar supremasi
manajerial zakat sebagaimana didemonstrasikan para khalifah Islam nan saleh
bijaksana dapat kita wujudkan kembali pada era posmodern ini.
Referensi:
Shahih Muslim bi Sarh
al-Nawawi Juz XVI. 1984. Beirut: Dar al-Turas al-‘Araby.
Sayyid
Sabiq. 1983. Fiqh Sunnah Juz 1. Beirut: Dar al-Fikr.