Dakwah Cyber

Kebutuhan terhadap
penyampaian pesan-pesan Islam (dakwah) secara membumi, yakni bersentuhan
langsung dengan problematika, isu dan kepentingan publik, tidak dapat diabaikan
begitu saja. Saat ini, model dakwah Islam yang konvensional (mimbar masjid)
maupun modern (mimbar media) masih dibalut prespektif dakwah teologis (aqidah)
dan hukum fikih. Hal ini menyebabkan Islam dipahami dalam konteks teologis dan
hukum, dan berakibat pada penyempitan pemahaman atas Islam pada dua bidang
tersebut. Tak heran, dua pendekatan dakwah tersebut alih-alih menyebarluaskan
pesan dan etika Islam yang universal, humanis, dan progresif, melainkan wajah
dakwah Islam yang memasung diri dan sekaligus terpasung pada friksi
ideologis-teologis dan pemahaman keagamaan yang hitam-putih.
Pesan etik Islam yang
lebih universal sebagai syarat utama pembangunan dan pemajuan peradaban kemanusiaan
yang “rahmatan lil’alamin” perlu diusung dan dikedepankan dalam dakwah Islam.
Metode dan pendekatan etis inilah yang diharapkan mampu mereduksi spirit
reduksionisme dan obskurantisme dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Harapannya,
tentu saja, bahwa Islam dan nilai-nilainya yang bajik dapat menjadi “garam”
bagi setiap aktivitas partisipatoris kewargaan. Islam dimaknai dan
diperhadapkan dengan problem dan isu dan kepentingan publik sehari-hari seperti
isu HAM, buruh, kemiskinan, lingkungan, kesetaraan gender, hak-hak minoritas,
dan rural dan urban, lingkungan dan perubahan iklim, perdamaian global dan
sebagainya. Dus, Islam tidak lagi dianggap sebagai “agama langit” yang bersifat
hegemoni-dogmatis, tetapi sebagai pesan-pesan universal yang menerjemahannya
dan reaktualisasinya bersifat heteronomik, yakni wilayah kerja-kerja manusia
yang profan.
Dalam konteks ini, dakwah Islam perlu diarahkan
pada kerja ganda; menerjemahkan pesan etik universal Islam dan bertanggung
jawab atas sistematisasi isu-isu dan kepentingan publik menjadi kebijakan
publik yang maslahat bagi semesta. Dakwah Islam ke depan harus berangkat dari
fakta empirik dan bersifat induktif, berangkat dari fakta dan realitas sosial,
bukan lagi bersifat normatif-deduktif. Di sinilah pentingnya dakwah Islam yang
lebih membumi dan berdimensi etika sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan
perlu diajukan ke publik. Dakwah semacam ini dapat memanfaatkan perkembangan
teknologi informasi dan digital yang bersifat partisipatoris, independen dan
bersifat interaktif, seperti jejaring media mainstream (TV, radio, koran) atau
media sosial (Twitter, Facebook, Youtube, BBM, SMS dsb). Pemanfaatan media ini
diharapkan juga dapat melengkapi dan mengisi kekosongan model dan pendekatan
dakwah Islam seperti ini.