Jilbab

Dewasa ini, ada dua
kosa kata dipakai untuk makna sama, hijab dan jilbab. Keduanya adalah pakaian
perempuan yang menutup kepala dan tubuhnya. Al-qur'an menyebut kata hijab untuk
arti tirai, pembatas, penghalang. Yakni, sesuatu yang menghalangi, membatasi,
memisahkan antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan, sehingga satu sama
lain tidak saling melihat atau memandang. Alqur'an menyatakan: "Jika
kamu meminta sesuatu kepada mereka (para isteri Nabi saw), maka mintalah dari
balik hijab. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka."(al-Ahzab,
53). Hijab dalam ayat ini menunjukkan arti penutup yang ada dalam rumah Nabi
SAW, yang berfungsi sebagai sarana menghalangi atau memisahkan tempat kaum
laki-laki dari kaum perempuan agar mereka tidak saling memandang. Secara
tekstual (lahiriah), ayat ini digunakan para ulama kemudian untuk membuat hijab
untuk umat.
Bila
melihat ayat diatas, hijab adalah satu bentuk pakaian yang dikenakan perempuan.
Akan tetapi, kemudian hari hijab diartikan sebagai pakaian sebagaimana jilbab
atau busana muslimah. Dalam banyak buku berbahasa arab (kitab) kontemporer,
hijab telah dimaknai sebagai jilbab. Jilbab, seperti disebutkan dalam
al-Qur'an, "Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar mereka lebih mudah dikenal dan
karena itu mereka tidak diganggu". (al-Ahzab, 59) Jilbab berasal dari
kata kerja jalab yang berarti menutupkan sesuatu diatas sesuatu yang lain
sehingga tidak dapat dilihat.
Dalam masyarakat
Islam selanjutnya, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi tubuh
seseorang. Bukan hanya kulit tubuhnya tertutup, melainkan juga lekuk dan bentuk
tubuhnya tidak kelihatan. Penelusuran atas teks Al-Qur'an tentang jilbab
agaknya tidak sama dengan pengertian sosiologis tersebut. Para ahli tafsir
menggambarkan jilbab dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Abbas dan Abidah
al-Samani merumuskan jilbab sebagai pakaian perempuan yang menutupi wajah
berikut seluruh tubuhnya kecuali satu mata. Dalam keterangan lain disebutkan
sebagai mata sebelah kiri. Qatadah dan Ibnu Abbas dalam pendapatnya yang lain
mengatakan, makna mengulurkan jilbab adalah menutupkan kain ke dahinya dan
sebagian wajahnya, dengan membiarkan kedua matanya.
Mengutip pendapat
Muhammad bin Sirin, Ibnu Jarir mencerita, "Saya tanya kepada Abidah
al-Samani mengenai ayat yudnina 'alaihinna min jalabihinna (hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya). Maka dia menutupkan wajahnya dan kepalanya semabil
menampakkan mata kirinya". Ibnu al-Arabi dalam tafsir Ahkam al-Qur'an,
ketika membicarakan ayat ini menyebutkan dua pendapat. Pertama, menutup
wajahnya dengan kain itu sehingga tidak tampak kecuali mata kirinya"
(III/1586).
Azzamakhsyari dalam
Alkasysyaf merumuskan jilbab sebagai pakaian yang lebih besar daripada kerudung
tetapi lebih kecil daripada selendang. Ia dililitkan di kepala perempuan dan
membiarkannya terulur ke dadanya. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab adalah
selendang di atas kerudung. Ini yang disampaikan ibnu Mas'ud, Ubaidah Qatadah,
Hasan Basri, Sa'id bin Jubair al-Nakha'i, Atha al- Khurasani dan lain-lain. Ia
bagaikan "izar" sekarang. Al-Jauhari, ahli bahasa terkemuka,
mengatakan Izar adalah pakaian selimut atau sarung yang digunakan untuk menutup
badan (ibnu Katsir, III/518). Sementara Wahbah az-Zuhaili dalam at tafsir
al-Munir pada kesimpulan akhirnya mengatakan bahwa para ulama ahli tafsir
seperti Ibnu al-Jauzi, at-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu as-Sa'ud,
al-Jashash dan ar-Razi menafsirkan bahwa mengulurkan jilbab adalah menutup
wajah, tubuh dan kulit dari pandanan orang lain yang bukan keluarga dekatnya
(II/108) Latar belakang Turun Ayat Ada sejumlah riwayat, mengenai latar
belakang turunnya ayat ini. Satu diantaranya, disampaikan Ibnu Sa'ad dalam
bukunya al-Thabaqat dari Abu Malik. Katanya, "Suatu malam, para isteri
Nabi SAW keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Saat itu, kaum munafiq
menggoda dan mengganggu (melecehkan) mereka. Mereka mengadukan peristiwa itu
kepada Nabi. Ketika Nabi menegur, kaum munafiq itu berkata, "Kami kira
mereka perempuan-perempuan budak." Lalu turun surat al-Ahzab ayat 59
(Wahbah, II/107). Ibnu Jarir at-Thabari, guru para ahli tafsir, menyimpulkan
ayat ini sebagai larangan menyerupai cara berpakaian perempuan-perempuan budak.
Satu hal, perlu
dicatat bahwa seruan mengenakan jilbab, sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas,
dimaksudkan sebagai cara untuk meperlihatkan identitas perempuan-perempuan
merdeka dari perempuan-perempuan budak. Soalnya, dalam tradisi Arab ketika itu,
perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga. Mereka mudah menjadi sasaran
pelecehan kaum laki-laki. Status sosial mereka juga direndahkan dan dihinakan.
Berbeda dari kaum perempuan merdeka. Dengan begitu, identifikasi perempuan
merdeka perlu dibuat agar tidak terjadi perlakuan yang sama dengan budak.
Istilah merdeka dimaksudkan agar mereka tidak menjadi sasaran pelecehan seksual
laki-laki. Ini sangat jelas disebutkan dalam teks ayat.
Sampai disini,
pertanyaan penting agaknya perlu dikemukakan. Kalau jilbab digunakan sebagai
pencirian perempuan merdeka, bagaimana pakaian yang biasa dikenakan perempuan
budak ? Abdul Halim Abu Syuqqah menginformasikan bahwa kaum perempuan Arab pra
Islam sebenarnya biasa mengenakan pakaian dengan berbagai bentuk atau mode. Ada
yang memakai cadar dan sebagainya. Beberapa bentuk dan mode pakaian yang
dikenakan kaum perempuan Arab saat itu, berlaku bagi perempuan merdeka dan
perempuan budak. Ketika Islam datang, mode dan bentuk pakaian yang menjadi
tradisi masyarakat Arab jahiliyah masih diakui. Tetapi, ada dugaan kuat, seruan
pemakaian jilbab terhadap perempuan-perempuan mukmin yang merdeka,
mengindikasikan perempuan budak tidaklah mengenakan jilbab. Atau mereka
mengenakannya, tetapi tidak mengulurkannya sampai menutup wajahnya. Tidak
berjilbabnya perempuan budak masuk akal, karena tugas-tugas berat mereka untuk
melayani majikannya.
Atas dasar itu, surat
al- Ahzab 59, tampaknya hanya membicarakan ciri khusus pakaian perempuan
merdeka, yang membedakannya dari pakaian perempuan budak. Ciri itu adalah
jilbab. Jadi, ayat ini secara lahiriah, serta didukung latar belakang turunnya,
hanya membicarakan jilbab sebagai ciri perempuan merdeka, untuk membedakannya
dengan perempuan budak. Ayat ini tidak membicarakan aurat perempuan.
Pembicaraan mengenai
batas-batas aurat perempuan dikemukakan dalam ayat lain, misalnya surah al-Nur
ayat 31. Para ahli tafsir, ketika mengartikan jilbab, menghubungkan surat
al-Ahzab dengan surat an-Nur tadi. Dengan demikian, jilbab adalah pakaian
tambahan, pelengkap atau assesoris yang dirangkap pada pakaian lain yang untuk
menutup tubuh perempuan merdeka. Wahbah mengatakan, jilbab merupakan pelengkap
kewajiban menutup aurat. Ini adalah tradisi yang baik, untuk melindungi
perempuan dari sasaran pelecehan laki-laki (Wahbah, II/108). Ketika seorang
muslimah merdeka menyatakan tidak mempunyai jilbab untuk sholat 'id, Nabi
mengatakan, hendaklah temannya mengenakan jilbabnya kepada dia".
Mengomentari hadist ini, al-Kasymiri dalam Faidh al-Bari mengatakan," Dari
sabda Nabi ini, diketahui bahwa memakai jilbab hanya dituntut ketika perempuan
keluar rumah." Abu Syuqqah mengatakan, perintah Nabi di atas menunjukkan
jilbab bukanlah pakaian pokok untuk menutup aurat. Ia (perempuan itu), hanya
memerlukan ketika keluar rumah, khsusnya ketika akan buang air di malam hari
dan ketika akan sholat jama'ah (Abdul Halim, IV/59)
Bila
jilbab menjadi pembeda perempuan merdeka dari budak, sedang budak sudah tak ada
lagi, maka pemakaian jilbab saat ini tidak menjadi keharusan lagi, tetapi juga
tak dilarang. Apalagi jilbab hanya sebagai assesoris atau sebagai pelengkap.
Itulah logika kausalitas. Persoalan tinggal pada masalah pakaian penutup aurat.
Dari sinilah, akan muncul perdebatan menarik.