Khutbah Jumat; Ikhlas Beramal

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Alhamdulilllah, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah swt bahwa hingga
saat ini, Allah masih memberi kita kesempatan untuk menyempurnakan pengabdian
kita kepadaNya, dengan harapan mudah-mudahan segala kekurangan dalam proses
pengabdian itu diampuni oleh Allah swt. Mudah-mudahan juga momentum hari jumat
ini semakin memberikan kita kesadaran akan peningkatan kualitas iman dan takwa
kita kepada-Nya. Amin.
Sesungguhnya kehidupan ini memang Allah ciptakan untuk menguji siapa
diantara hambaNya yang paling banyak dan paling baik beramal. Beramal merupakan
inti dari keberadaan manusia di dunia ini, tanpa amal maka manusia akan
kehilangan fungsi dan peran utamanya dalam menegakkan khilafah dan imarah.
Allah berfirman menegaskan tujuan keberadaan manusia.
الَّذِي خَلَقَ
الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun“.
(Al-Mulk: 2)
Namun pada tahap implementasinya, ternyata tidak cukup hanya
beramal saja, karena memang Allah akan menseleksi setiap amal itu dari niatnya
dan keikhlasannya. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia tidak berguna dan
tidak dipandang sedikitpun oleh Allah swt. Imam Al-Ghazali menuturkan, “Setiap
manusia binasa kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu akan binasa
kecuali orang yang beramal (dengan ilmunya). Orang yang beramal juga binasa
kecuali orang yang ikhlas (dalam amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap
harus waspada dan berhati-hati dalam beramal”. Dalam hal ini, hanya orang-orang
yang ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat
besar, seperti yang dijamin Allah dalam firmanNya, “Tetapi hamba-hamba Allah
yang dibersihkan (bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezki yang
tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di
dalam syurga-syurga yang penuh kenikmatan”. (Ash-Shaaffat: 40-43)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Ayat tentang keutamaan dan jaminan bagi orang yang bekerja dengan ini ini
seharusnya menjadi motifasi utama kita dalam menjalankan tugas dan pekerjaan
kita sehari-hari dalam apapun dimensi dan bentuknya, baik dalam konteks “hablum
minaLlah atau Hablum minannas”..karena hanya orang yang mukhlis nantinya yang
akan meraih keberuntungan yang besar di hari kiamat, yaitu syurga Allah yang
penuh dengan kenikmatan, meskipun dia harus banyak bersabar terlebih dahulu
ketika di dunia. Ayat ini juga merupakan salah satu diantara jaminan yang
disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang mukhlis.
Jaminan lain yang Allah sediakan bagi mereka yang ikhlas dalam beramal bisa
ditemukan dalam kisah perjalanan Yusuf as ketika beliau berhadapan dengan
seorang wanita yang mengajaknya melakukan kemaksiatan. Bahwa Allah akan
senantiasa memelihara hambaNya yang mukhlis dari perbuatan keji dan maksiat, “Sesungguhnya
wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda
(dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran
dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang mukhlis“.
(yusuf: 24). Dalam ayat lain, orang yang mukhlis juga mendapat jaminan akan
terhindar dari godaan dan bujuk rayu syetan. Syetan sendiri mengakui
ketidakberdayaan dan kelemahan mereka dihadapan orang-orang yang beramal dengan
ikhlas, “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan
ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (Al-Hijr: 39-40). Dengan
redaksi yang sama, ayat ini berulang dalam surah Shaad, “Iblis menjawab:
“Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka“. (Shad: 82-83). Sungguh
benteng keikhlasan merupakan benteng yang paling kokoh yang tak tergoyahkan
oleh apapun bentuk rayuan dan fitnah iblis dan sekutunya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Dalam tinjauan ilmu qira’at, para ulama qira’at berbeda dalam membaca kata
“Al-Mukhlashin” yang tersebut pada akhir kedua ayat tersebut. Sebagian qari’
membaca Al-Mukhlashin dengan ism maf’ul dan sebagian lainnya membaca
dengan isim fi’il Al-Mukhlishin. Imam Ibnu Katsir, Abu Amr dan Ibnu
Amir, membaca seluruh kalimat ini dalam Al-Qur’an dengan bacaan “Al-Mukhlishin”
yang artinya: Mereka mampu memurnikan agama dan ibadah mereka dari segala noda
yang bertentangan dengan nilai tauhid. Sedangkan ulama qira’at yang lain
membaca Al-Mukhlashin yang artinya: Mereka yang dipelihara dan mendapat
taufik dari Allah untuk memiliki sifat Ikhlas. Berdasarkan qira’at ini, ikhlas
dan iman adalah mutlak anugerah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang
dikehendaki. Namun setiap hamba diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa
memperhatikan dan meningkatkan kadar dan tingkt keikhlasannya dalam beramal.
Bahkan Allah menyuruh kita meneladani orang-orang yang mendapat petunjuk karena
tidak pernah mengharapkan balasan dari amalnya kecuali dari Allah swt,
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Yaasin: 21)
Secara prinsip, Islam memandang keikhlasan sebagai pondasi dan ruh sebuah
amal, apapun bentuknya amal tersebut selama termasuk kategori amal sholih. Baik
amal tersebut dilakukan dalam skala pribadi maupun secara kolektif
(bermasyarakat, berbangsa dan bernegara). Bahkan keikhlasan dalam ruang lingkup
kolektif sosial ternyata sesuatu yang berat dan memerlukan lebih kesabaran.
Dalam konteks ini, keikhlasan harus dibangun secara timbal balik antara seluruh
individu dalam masyarakat dan menghindari kecemburuan serta persepsi negatif
terhadap masing-masing anggota. Demikian, semakin luas wilayah kerja seseorang,
maka semakin dibutuhkan keikhlasan. Apalagi di tengah semakin beragam hambatan
atau ujian keikhlasan yang menghadangnya, yang pada umumnya adalah seperti yang
dinyatakan oleh Syekh Hasan Al-Banna’ dalam Risalahnya, yaitu: harta,
kedudukan, popularitas, gelar, ingin selalu tampil di depan dan diberi
penghargaan dan pujian dan sebagainya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Jika keikhlasan dituntut dari setiap orang yang beramal, maka menurut Dr.
Ali Abdul Halim Mahmud, keikhlasan bagi seorang da’i merupakan keniscayaan yang
harus senantiasa menyertainya karena ia akan berhadapan dengan berbagai keadaan
dan beragam manusia dalam perjalanan dakwahnya. Jika tidak, maka binasa dan
sia-sialah amalnya. Bahkan sifat yang mendasar bagi seorang da’i yang harus
senantiasa melaziminya adalah ikhlas. Oleh karena itu, para ulama hadits
menjadikan bab Niat berada di awal kitab hadits susunan mereka, agar karya
tulis mereka selalu diawali dengan keikhlasan dan tidak luput dari sifat ini.
Bisa dibayangkan para ulama yang merupakan teladan dalam beramal mencontohkan
kita agar senantiasa mengukur setiap amal yang kita lakukan dengan ukuran
ikhlas.
Para nabi Allah dalam kapasitas mereka sebagai da’i senantiasa menjadikan
keikhlasan sebagai jargon dan prinsip dakwah mereka. Sebagai contoh Nabi
Muhammad saw sebagai teladan utama dalam hal ini mengemukakan tentang
motifasinya dalam berdakwah, “Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun
kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan)
orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan nya“. (Al-Furqan: 57)
Dengan redaksi yang sama dan dalam surah yang sama secara berdampingan,
seluruh nabi Allah menekankan prinsip keikhlasan dalam dakwah mereka yang
ideal, mulai dari nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syu’aib as. “Dan aku
sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain
hanyalah dari Tuhan semesta alam“. (Asy-Syu’ara’: 109, 127, 145, 164, 180).
Inilah bangunan keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan dicontohkan dalam dakwah
para nabi Allah swt, sehingga mereka meraih kesuksesan dan diabadikan namanya
oleh Allah swt sebagai cerminan bagi para da’i setelah mereka.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Menurut bahasa, dalam kata ikhlas terkandung beberapa makna; jernih,
bersih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun non
materi. Lawan dari ikhlas adalah nifak dan riya’. Rasulullah saw bersabda
tentang sifat yang mulia ini dalam sabdanya, “Barangsiapa yang tujuan
utamanya meraih pahala akhirat, niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam
kalbunya, menghimpunkan baginya semua potensi yang dimilikinya, dan dunia akan
datang sendiri kepadanya seraya mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang
tujuan utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya berada
di depan matanya, membuyarkan semua potensi yang dimilikinya, dan dunia tidak
akan datang sendiri kepadanya kecuali menurut apa yang telah ditakdirkan
untuknya“. (Tirmidzi).
Dalam apapun keadaan, keikhlasan akan tetap menjadi modal, bekal sekaligus
kemudi amal sholih, apalagi dakwah sebagai puncak dari amal sholih. Karena
semakin berat dan mulia sebuah tugas tentu akan semakin dibutuhkan keikhlasan.
Semakin dewasa perjalanan dan pengalaman dakwah seseorang, maka semestinya
semakin baik tingkat dan kualitas keikhlasannya. Keikhlasan juga merupakan
salah satu dari dua pilar dan syarat diterimanya amal sholih, bahkan ia yang
paling utama, seperti yang dinyatakan oleh Abdullah bin Al-Mubarak ketika
menafsirkan ayat: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2). Tanpanya amal
seseorang akan sia-sia tidak bernilai. Untuk itu, dengan ikhlas, akan mencukupi
amal yang sedikit seperti yang ditegaskan dalam sebuah riwayat Ad-Dailami,
“Ikhlaslah kamu dalam beramal, maka cukuplah amal yang sedikit yang kamu
lakukan”.
” أَخْلِصِ
الْعَمَلَ يَجْزِيْكَ القلِيْلُ مِنْهُ”
Agar ikhlas dapat terpelihara, tentu ada variabel yang melekat pada setiap
amal yang kita lakukan; diantaranya variabel profesionalisme, kompetensi, itqan
dan kesungguhan. Maka amal yang cenderung apa adanya, serampangan, asal jadi,
“pokoknya” dan amal yang tidak konsisten bisa jadi karena ketidak ikhlasan kita
dalam menjalankan tugas tersebut. Ini tantangan terberat bagi kita sesungguhnya.
Ikhlas inilah yang akan memperkuat potensi spritualitas kita. Lantas pertanyaan
besar kita, “Apakah ruh dan motifasi yang menggerakkan roda amal kita selama
ini ???…
Dipublikasikan
pada hari Jumat 24 Pebruari 2012 M / 2
Rabiul
Tsani 1432 H