Ambigu

Sederhana
sekali memang. Sejak mengenal dunia secara visual, kita menyadari disebelah tangan
kiri kita ada tangan lan yang bernama kanan. Mata kiri-mata kanan,
depan-belakang, maju-mundur dan seterusnya. Kita tidak akan mengenali putih
tanpa mengalami hitam. Tak mengerti pahala tanpa memahami dosa dan seterusnya.
Dunia adalah sebuah paradoks. Sederhana juga, tentu. Setelahnya kita mengetahui
ada samping ada bias, selain depan-belakang, maju-mundur atau kanan-kiri. Ada
hijau kuning, jingga, disamping hitam-putih, gelap dan terang. Alternatif
ditawarkan dunia hampir tanpa batas. Dan semua memiliki haknya sendiri-sendiri.
Realitas ternyata ambigu, pada akhirnya. Majemuk pada intinya.
Artinya,
tidak ada satupun kenyataan, kejadian atau fenomena terkini sekalipun yang
hanya menyimpan satu-dua dimensi, satu-dua pemahaman dan makna: satu-dua cara
melihat. Hidup itu ambiguitas yang menawarkan cara pandang, tafsir atau modus
penghayatan yang beragam. Tanpa kecuali. Satu hal yang buruk dapat terlihat
sangat baik di dimensi atau cara melihat yang lain. Begitupun sebaliknya.
Lalu
mengapa kita harus memaksakan kebenaran kita pada orang lain yang tidak punya
sejarah pendirian yang sama dengan kita. Bahkan lelucon bisa menjadi filosofi
yang bijak. Bahkan kekerasan bisa menjadi “keindahan”. Lalu kenapa kita tidak bisa
melihat hal yang mengerikan sebagai bahan tertawaan. Ini sebuah ironi. Boleh
jadi tragedi kita saat ini. Di masa yang katanya bernama postmodernis ini.
Dimana semua memiliki hak hidupnya sendiri-sendiri, segala standar seperti
dipulangkan pada diri sendiri.