Khutbah Jumat; Etika Muslim dalam Keragaman dan Perbedaan

Ma’asyiralmuslimin Rahimakumullah
Islam sebagai agama rahamatan
lil ‘alamin telah mengajarkan kepada umat manusia di dalam menghadapi dan
melaksanakan kehidupan yang bersifat pluralistik, seperti yang dihadapi umat
manusia pada era industrialisasi, era global dan era informasi.
Masyarakat yang
pluralistik, sebenarnya tidak hanya menjadi ciri khas masyarakat industri
modern. Dalam pengalaman paling dini, historitas keberagamaan Islam dalam era
kenabian Muhammad, masyarakat yang pluralistik secara religius telah terbentuk
dan sudah pula menjadi kesadaran umum pada saat itu. Keadaan demikian sudah
sewajarnya lantaran secara kronologis agama Islam memang muncul setelah
terlebih dahulu didahului oleh berkembangnya agama Hindu, Budha, Kristen,
Katholik, Majusi, Zoroaster, Mesir Kuno maupun agama-agama lain. Untuk itu
dialog antar iman termasuk terma sentral yang mewarnai Al Quran.
Allah
telah menggambarkan adanya truth claim yang melekat dalam hati
sanubari para pemeluk agama. Dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 12: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:
"Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan
Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang
kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Di dalam ayat lain
Allah SWT, menggambarkan adanya klaim kebenaran (truth claim) yang
dilakukan umat Islam. “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S Ali ‘Imran: 85)
Dalam menyikapi
kondisi tersebut, Al Quran mengajak kepada seluruh penganut-penganut agama lain
dan penganut Islam sendiri untuk mencari titik temu (kalimatun sawa)
diluar aspek teologis yang memang sudah berada sejak semula. “Katakanlah:
"Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah".
jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa
kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S. Ali
‘Imran: 64)
Ma’asyiralmuslimin Rahimakumullah
Pencarian titik temu
lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas
kemanusiaan yang perenial, abadi tanpa henti-hentinya. Pencarian titik temu
antar umat beragama dapat dimungkinkan lewat berbagai cara, salah satunya lewat
pintu masuk etika, karena lewat pintu gerbang etika manusia beragama secara
universal menemui tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama. Lewat pintu etika
ini, manusia beragama mempunyai puncak-puncak keprihatinan yang sama.
Untuk era sekarang
ini, tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai implikasinya,
tantangan hidup, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, menghormati hak asasi
manusia merupakan agenda bersama umat manusia tanpa pandang keagamaannya. Lewat
pintu etika ini, seluruh penganut agama-agama dapat tersentuh
religiusitasnya, untuk tidak menonjokan ‘having religion’-nya. Lewat
pintu etika ini, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih menjanjikan dan
menantang, bukan hanya terfokus pada dimensi formalitas lahiriyah kelembagaan
agama.
Tuntutan
spiritualitas keberagamaan yang sejuk dan bewajah ramah jauh lebih dibutuhkan
manusia modern yang dihempas gelombang-gelombang besar
konsumerisme-materialisme. Sekali lagi, dimensi spiritualitas keberagamaan yang
erat kaitannya dengan persoalan-persoalan etika rasional-universal juga dapat
dijadikan pintu masuk untuk berdialog secara terbuka dan jauh dari kecurigaan
kelembagaan formal keagamaan.
Adalah tugas mulia
umat beragama secara bersama-sama untuk menginterpretasikan ulang ajaran-ajaran
agamanya agar dapat dikomunikasikan pada wliayah agama lain, sehingga
mengurangi ketegangan antar umat beragama. Para teolog masing-masing umat
beragama dan juru dakwah serta missionaris, aturannya memang belajar memahami
relung-relung keberagamaan orang lain, bukan tujuan untuk pindah agama atau
hegemoni kultural sehingga terbuka kesempatan untuk lebih saling memahami dan
toleran. Dan sikap toleran ini tidak perlu dikhawatirkan akan menipisnya
keberagamaan yang semula dipeluknya.
Dalam perspektif
Islam, konsep etika keberagamaan khususnya yang menyangkut hubungan antarumat beragama,
bersifat sangat terbuka dan dialogis. Panggilan untuk mencari titik temu (kalimatun
sawa’) antar berbagai penganut ahli kitab adalah tipikal model panggilan Al
Quran. Panggilan untuk mencari titik temu yang kreatif sudah barang tentu
sangat tergantung pada situasi dan kondisi sejarah yang melingkarinya. Atmosfir
sosio-kultural yang mengitari keberadaan manusia muslim dalam wilayah dan era
tertentu juga berbeda dari wilayah atmosfir sosio-kultural yang mengitari
keberadaan manusia muslim dalam wilayah dan era yang lain.
Ma’asyiralmuslimin Rahimakumullah
Berkaitan dengan
etika yang ditawarkan Islam dalam kehidupan yang plural, maka ada empat hah
perlu dipahami oleh umat Islam. Pertama, sebagai agama tauhid, Islam
mengajarkan adanya kesatuan penciptaan. Kedua, sebagai agama tauhid,
Islam mengajarkan kesatuan kemanusiaan. Ketiga, kesatuan petunjuk juga
ditekankan oleh Islam sebagai agama tauhid. Keempat, sebagai konsekuensi
logis dari ketiga hal tersebut, maka bagi umat manusia hanya ada satu tujuan
atau makna hidup.
Untuk mewujudkan
keempat kesatuan fundamental tersebut, maka seseorang muslim harus berpegang
teguh pada ajaran agamanya dengan jalan menaati peraturan-peraturan Tuhan dan
menunjukkan kasih sayang kepada segenap makhluk.
Kesadaran akan tanggung
jawab bersama terhadap kesejahteraan manusia, seorang muslim tidak boleh
meremehkan agama lain dan tidak mungkin membenci umat manusia lain. Hal ini
jelas tampak dari pandangan Al Quran sendiri yang mendasarkan bahwa manusia
muslim harus memiliki toleransi terhadap eksistensi agama lain dengan melarang
adanya paksaan bahkan tidak ada lagi pembencian dalam agama.
Dalam hal toleransi,
Nabi Muhammad pernah memberi suri tauladan yang sangat inspiratif dihadapan
para pengikutnya. Sejarah mencatat, Nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir
dari tanah tumpah darahnya (Mekkah). Beliau terpaksa hijrah ke Madinah untuk
beberapa lama dan kemudian kembali lagi ke Mekkah. Peristiwa ini dikenal dalam
sejarah Islam dengan istilah Fathu Mekkah. Dalam peristiwa yang penuh
kemenangan ini, Nabi tidak mengambil langkah balas dendam kepada siapapun juga
yang telah mengusirnya dahulu dari tanah kelahiran. “antum tulaqa” (kamu
sekalian bebas), begitu ucapan Nabi kepada mereka.
Peristiwa ini sangat
memberi inspirasi dan kesan yang sangat mendalam terhadap penganut agama Islam
dimanapun mereka berada. Nabi telah memberi contoh konkret dan sekaligus contoh
pemahaman dan penghayatan pluralismekeagamaan yang sangat riil dihadapan
umatnya. Disini, dimensi historisitas keteladanan Nabi menjadi sesuatu yang
sangat penting dalam penghayatan beragama. Tanpa didahului polemik pergumulan
filosofis-teologis. Nabi tidak menuntut truth claim atas nama dirinya
maupun atas nama agama yang dianutnya. Beliau mengambil sikap sepakat dalam
ketidaksepakatan, setuju dalam perbedaan, agree in disagreement. Dia
tidak memaksakan ajaran agamanya dengan kesadaran dari lubuk hatinya.
Perkataan ‘la
ikraha fiddin’ tidak berarti bahwa Islam mentolerir praktik-praktik yang
bertentangan dengan kemanusiaan dan kebebasan tanpa batas. Sekalipun
praktik-praktik a-manusiawi itu dibenarkan oleh sesuatu keyakinan tertentu.
Jadi, ‘charter of religious liberty’ dalam Islam bukannya tanpa batas.
Praktik-praktik yang bertentangan dengan moral dasar dan merusak ketenangan
masyarakat dan keamanan bersama tidak dapat dibenarkan dengan dalih ‘tidak ada
paksaan dalam agama’.
Kebebasan agama
menurut pandangan Islam berarti bahwa setiap agama diakui eksistensinya dan
kepada para pemeluknya diberikan hak sebebas-bebasnya untuk memberlakukan
hukum-hukum agama dan pandangan hidupnya (weltans-chaung), selama tidak
bertentangan dengan moral dasar manusia dan tidak mengganggu ketertiban umum.
Dalam hubungan antara Islam dengan agama lain, Kristen dan Yahudi mendapatkan
tempat khusus dalam Al Quran.
Sebagai ahli kitab,
mereka dipanggil oleh Al Quran agar bersama kaum muslimin mereka dapat menjalin
titik-titik persamaan fundamental, yaitu keyakinan pada Tuhan Allah Yang Maha
Esa dan kualitas manusia dihadapan Tuhan dimana tidak ada manusia yang lebih
superior dibanding manusia yang lain sehingga tidak dibenarkan adanya
eksploitasi manusia atas manusia lainnya.
Hadirin Jemaah Jumat yang berbahagia
Di Indonesia,
kebebasan beragama telah diakui oleh pemerintah, bahkan telah ditetapkan di
dalam Undang-Undang Dasar. Setiap orang diberi keebasan untuk memeluk agama
resmi yang diakui oleh negara Indonesia. Dengan adanya kebijaksanaan tersebut,
bangsa Indonesia memperoleh pengalaman yang sangat kaya dan seringkali
dijadikan model bagi kerukunan hidup antar umat beragama oleh negara-negara
lain, sebab di Indonesia agama-agama dapat hidup berdampingan secara damai.
Meskipun demikian,
perlu diakui bahwa ada beberapa realitas faktual yang berkembang dewasa ini,
dimana sikap keberagamaan masyarakat kurang mendukung adanya kerukunan
antaragama.
Menghadapi realitas
faktual yang berkembang dewasa ini, umat Islam dtuntut untuk senantiasa
merendahkan hati dan bersedia berdialog dengan kebenaran (logika) (al haqq)
dan kesabaran/ketabahan (ash-shabr) di setiap langkah dalam perjalanan
hidupnya. Dialog-dialog yang dikembangkan oleh umat Islam tidak cukup dengan
mengandalkan logika rasional belaka, tetapi diperlukan adanya logika psikis,
dimana sikap prasangka dan merendahkan orang lain perlu dihindari. Allah SWT
mengingatkan dalam salah satu firmannya:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain,
boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil
dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah imandan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al Hujurat:
11)
Disamping itu, umat
Islam dituntut untuk memiliki tanggung jawab pribadi. Islam mengajarkan dengan
kuat sekali tanggung jawab pribadi di hadapan pengadilan Tuhan di kemudian
hari. Tanggung jawab pribadi itu membawa akibat adanya tanggung jawab sosial,
karena setiap perbuatan pribadi yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah adalah sekaligus, dan tidak bisa tidak, perbuatan yang bisa dipertanggungjawabkan
dihadapan sesama manusia. Dengan mengggunakan istilah Islam yang lebih khusus,
iman yang pribadi itu membawa akibat adanya amal-amal saleh yang memasyarakat.
Sebab kebenaran bukanlah semata-mata persoalan kognitif, kebenaran harus mewujudkan
diri dalam tindakan.
Ma’asyiralmuslimin Rahimakumullah
Bersamaan dengan
tekanan agama pada tanggung jawab pribadi di hadapan Allah ialah penegasannya
akan persamaan manusia tanpa memandang ras warna maupun jenis. Dihubungkan
dengan tekanan bahwa Allah lah yang mutlak, sedangkan segala
sesuatu selain-Nya, termasuk manusia dan hal-hak kemanusiaan adalah relatif,
maka paham persamaan manusia itu menghendaki tidak terjadinya sikap-sikap
otoriter seseorang dalam kehidupan sosial Tidak seorang pun dibenarkan
memutlakkan dirida penemuannya akan suatu kebenaran, seolah-olah berlaku sekali
untuk selamanya. Karena, hal itu akan berakhir dengan dakan menyaingi Allah.
Sebaliknya, masalah-masalah antarmanusia harus diselesaikan bersama, melalui
proses take and give mendengar dan mengemukakan pendapat yaitu proses
musyawarah, konsultasi dan bukannya pendiktean.
Demikianlah pemikiran
dan sikap yang mesti dilakukan oleh umat Islam seperti khatib uraikan di atas,
mudah-mudahan dapat mengatasi problematika yang kita hadapi dalam kehidupan
yang pluralistik ini.
Referensi:
Abdullah, Amin. Tt. Etika dan Dialog Antaragama; Perspektif
Islam, dalam Jurnal Ulumul Quran No. 4 Vol. IV, Tahun 1993
Basit, Abdul. Serial Khutbah Kontemporer. 2000. Jakarta:
Zikrul Hakim.
Bronowski, J. & Bruce Mazlish. 1962. The Western
Intellectual Tradition. New York: Harper Row.
Ma’arif, A. Syafi’i. 1993. Peta Bumi Intelektual Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholish. 1955. Islam Kemodernan dan
Ke-Indonesiaan. Bandung: Mizan.
Rahman, Fazlur. 1985. Islam dan Tantangan Modernitas.
Bandung: Mizan.
Tibi, Bassam. 1994. Krisis peradaban Islam Modern.
Yogyakarta: Tiara Wacana.