Seks dan Kekuasaan

Skandal seks mampu menuai sensasi dan kontroversi sejak jaman
dahulu kala hingga saat ini. Banyak rezim jatuh hanya karena skandal seks.
Banyak perang besar terjadi hanya karena perempuan. Seks memang menjadi senjata
paling ampuh untuk membangun sekaligus menghancurkan karir politik seseorang.
Ada Cleopatra di Mesir, ada legenda Drupadi pencetus perang bharatayudha.
Bagaimana di Indonesia? Ada Maria Eva sang penghancur karir politik Yahya
Zaini, ada juga bupati Aceng H.M. Fikri yang termakzulkan karena Fanny Oktora.
Ada juga jutawan Syeh Puji yang menikahi seorang bocah bernama Ulfa karena
kuasa uangnya. Dan yang terhangat adalah Irjen Pol Djoko Susilo yang menaklukan
mantan putri solo Dipta Anindita dengan kuasa jabatannya.
Surga ada di telapak kaki seorang ibu dan dunia ada digenggaman
tangan wanita. Kepanjangan pepatah tadi boleh jadi benar karena selalu ada
wanita tegar di balik orang-orang besar serta kejadian-kejadian heroisme
sejarah. Karena putaran roda sejarah tak melulu didominasi laki-laki. Manusia
telah melewati era penaklukan berdarah-darah dengan pedang di tangan. Namun
tidak terbantahkan kekuasaan runtuh, hancur, luluh, bersimpuh di hadapan
wanita.
Bila lelaki perlambangan kejantanan pedang, maka wanita punya
segala daya pesona keindahan dunia sekaligus mematikan. Ini pula sebab sejarah
dan peradaban. Tidak sedikit kisah pula menggabungkan hal ikhwal duniawiyah
pesona wanita dan kekuasaan.
Adagium seusia peradaban manusia berdiri tak lekang waktu dan
berlaku hingga hari ini. Ksatria adalah pandanan pedang, kuda, dan wanita.
Manusia senantisa merumus naluri dan menyempurnakan dirinya dengan 3 kata ini:
harta, tahta, dan wanita. Dengan kata lain, ada yang berhasil dalam rangka
menggenggam statuta digdaya dunia. Namun ada lebih banyak lagi yang terjungkal
dalam menapak rumusan tadi.
Sederhana, bila pedang dan harta hanya dikendalikan tangan
penguasa. Sementara hati wanita sungguh luar biasa tak terduga. Dahsyatnya lagi
ketika wanita bergerak, dunia dan sejarah ikut berputar. Ada yang menyebut,
makin besar kekuasaan makin besar pula hasrat mewujudkan motif berafiliasi,
termasuk dalam soal seks. Lagi-lagi, ini ulah tiga sekawan, harta, tahta dan
wanita.
Urusan
seks dan kekuasaan memang bukan hal yang sepele. Seks bukan hanya sekedar
sensasi dan kenikmatan atau hukum. Tetapi didalam seks dipertaruhkan
masalah benar dan salah, patut dan tidak patut. Mengetahui apakah dalam seks
itu benar atau berbahaya membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan.
Referensi:
Foucault,
Michael. Seks dan Kekuasaan. 1997. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama (GPU)